(Belajar dari kasus Orient Riwu Kore)
Oleh: Elfahmi Lubis*
Dalam pekan ini Mahkamah Konstitusi membuat putusan yang mengejutkan dunia “kepemiluan” tanah air. MK dalam putusannya mendiskualifikasi Bupati Kabupaten Sabu Raijua Provinsi NTT terpilih pada Pilkada 2020, Orient Riwu Kore. Hal itu diputuskan dalam pembacaan sidang putusan perkara 135/ PHP.BUP-XIX/2021 yang dilayangkan oleh pasangan calon nomor urut tiga Taken Irianto Radja Pono dan Herman Hegi Rdja Haba dalam Pilkada Sabu Raijua “Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian. Menyatakan batal keputusan KPU Kabupaten Sabu Raijua. Menyatakan diskualifikasi paslon Sabu Raijua, Orient Patriot Riwu Kore-Thobieas Uly,” demikian kutipan putusan MK yang dibacakan Ketua MK Anwar Usman yang dibacakan di Gedung MK, Kamis (15/4).
Dalam putusannya MK berpendapat bahwa berdasarkan bukti yang dikumpulkan, status orient sejak 2007 adalah warga negara AS. Hal itu dibuktikan dengan kepemilikan paspor AS. Orient memiliki dua paspor sekaligus, yakni paspor Amerika yang berlaku sampai 9 Juli 2027 dan paspor Indonesia yang berlaku sampai 1 April 2024.
Jika mengacu pada UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, Indonesia menganut asas kewarganegaraan tunggal. Sehingga saat Orient mempunyai paspor AS, saat itu secara otomatis status WNI tidak berlaku. Selain itu, mengacu pada pasal 7 ayat (1) UU Nomor 10 Tahun 2016 terkait persyaratan pencalonan bupati dan wakil bupati mengharuskan berstatus WNI. Sehingga pencalonan Orient tidak dapat diterima. MK menganggap Orient tidak jujur terhadap status kewarganegaraannya selama ini. Dengan demikian Status Orient sebagai calon bupati harus dinyatakan batal demi hukum. Dengan gugurnya Orient, MK mengatakan pendampingnya, Thobias Uly juga ikut gugur alasannya pasangan calon bupati dan wakil bupati itu merupakan satu kesatuan.
Selanjutnya KPU diperintahkan menggelar pilkada ulang dengan diikuti dua calon dalam batas waktu yang ditetapkan. Pelaksanaan pemungutan suara ulang paling lama 60 hari kerja sejak diucapkannya putusan mahkamah.
Saya dalam konteks ini saya tidak akan membahas subtansi kasus Orient Riwu, yang sudah diputuskan oleh majelis hakim MK. Tapi saya ingin mengapresiasi MK bahwa melalui putusannya dalam perkara ini menunjukkan bahwa MK kembali memposisikan diri sebagai “The Guardian of the Constitution” yaitu pengawal tegaknya konstitusi. Melalui putusan ini juga, akan menepis stigma buruk selama ini yang dialamatkan kepada MK sebagai mahkamah kalkulator. Sekaligus menepis tuduhan bahwa praktik peradilan mahkamah yang hanya mengkedepankan keadilan formilitas dibandingkan keadilan subtansial (baca tulisan saya soal Mahkamah Kalkulator).
Dalam putusan diskualifikasi bupati terpilih Kabupaten Sabu Raijua, Orien Riwu, MK sudah keluar dari pakem kaku yang membelenggunya selama ini, bahwa jika terkait soal Perselisihan Hasil Pemilu (PHP) selalu berurusan hitung-hitungan angka perolehan suara persis kayak kalkulator, atau sekedar menguji dalil pemohon terkait dengan dugaan pelanggaran pemilihan yang bersifat TSM (terstruktur, sistematis, dan massif).
Sebenarnya, MK juga pernah membuat putusan yang hampir “mirip” dengan kasus Orient Riwu, yaitu putusan MK yang mendiskualifikasikan pasangan bupati dan wakil bupati terpilih Kabupaten Bengkulu Selatan, Dirwan Mahmud-Hartawan, yang dianggap tidak memenuhi persyaratan formil pencalonan kepala daerah sebagaimana diatur dalam ketentuan perundang-undangan.
Dalam perkara Orient Riwu, saya melihat MK lebih memposisikan dirinya sebagai pengawal tegaknya konstitusi dibandingkan dengan menjalan fungsi yudisialnya sebagai mahkamah yang berwewenang menangani sengketa persilisihan hasil pemilihan kepala daerah. Soalnya, dalam perkara Orient Riwu, saya melihat ada pelanggaran konstitusi serius di situ. Di mana ada orang yang secara hukum berstatus Warga Negara Asing (WNA) bisa dengan mudah “mengelabui” seluruh institusi resmi negara seperti Imigrasi, Dukcapil Kemendagri, Kementerian Luar Negeri, KPU, dan Bawaslu. Mirisnya “pengelabuan” itu nyaris saja sempurna, jikalau di detik-detik akhir menjelang pelaksanaan tahapan pelantikan kepala daerah terpilih, Bawaslu tidak buka suara. Untung bunyi peluit Bawaslu di detik-detik terakhir tersebut, mampu menyadarkan kita bahwa telah terjadi pelanggaran serius terhadap konstitusi dan UU, yang dilakukan oleh warga negara asing bernama Orient Riwu.
Putusan MK dalam perkara Orient Riwu Kore ini harus menjadi pelajaran dan bahan evaluasi semua pihak, terutama imigrasi, KPU, dan Bawaslu. Dari kasus ini penyelenggara pemilu nampak tidak cermat dan tidak menerapkan prinsip kehati-hatian dalam melakukan proses verifikasi pasangan calon kepala daerah yang mau ikut dalam kontestasi politik. Akibat ketidakhati-hatian ini secara finansial dan moral telah menyebabkan kerugian besar. Soalnya, sebagai konsekuensi dari putusan maka harus dilakukan PSU (pemungutan suara ulang) yang jelaskan akan menggunakan anggaran negara yang besar. Sementara ini kasus ini juga menjadi tamparan keras buat Imigrasi sebagai lembaga negara yang diberikan otoritas melakukan pendataan dan pengawasan orang asing di negara ini.
Putusan majelis MK yang mendiskualifikasi paslon Orient Riwu karena tidak memenuhi syaraf formil pencalonan sebagaimana disyaratkan UU dan sekaligus pelanggaran terhadap konstitusi, merupakan “rechtsvinding” sebagai “penemuan hukum”, karena mahkamah dalam perkara ini tidak hanya melihat aspek formil saja, tetapi lebih jauh dari itu secara subtansial ada pelanggaran konstitusi secara serius. MK lewat putusan Orient Riwu, telah bertindak sebagai “pengawal” tangguh dan kuat melawan mafiaso politik yang selalu bermain dengan kekuatan kapital dan uang dengan cara apapun termasuk melawan konstitusi sekali pun demi meraih kekuasaan.
*Penulis adalah Dewan Pakar Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI) Provinsi Bengkulu