SP3 BLBI: Koruptor Juara, KPK Degradasi

Oleh: Elfahmi Lubis*

Siapa yang menabur angin, akan menuai badai, artinya dia yang berbuat, dia pula yang terkena akibat. Hukum tabur-tuai, yang merupakan judul sebuah buku yang ditulis oleh Soegiarso Soeroyo pada tahun 1988, menarik untuk dinarasikan kembali. Terutama jika dikaitkan dengan berita “mengejutkan” hari ini “KPK Akhirnya SP3 Kasus Mega Skandal BLBI” yang melibatkan Naga Sjamsul Nursalim dan Isteri Itjih Sjamsul Nursalim.

Kepastian SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan) kasus mega skandal yang paling memalukan dalam sejarah Indonesia ini, disampaikan langsung oleh Wakil Ketua KPK Alexander Marwata, yang menegasi bahwa keputusan SP3 tersebut merujuk Pasal 40 UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang perubahan kedua atas UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Berdasarkan pasal 40 ayat (1) Komisi Pemberantasan Korupsi dapat menghentikan penyidikan dan penuntutan terhadap perkara Tindak Pidana Korupsi yang penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun.

(2) Penghentian penyidikan dan penuntutan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 harus dilaporkan kepada Dewan Pengawas paling lambat 1 (satu) minggu terhitung sejak dikeluarkannya surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan. (3) Penghentian penyidikan dan penuntutan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 harus diumumkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi kepada publik. (4) Penghentian penyidikan dan penuntutan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 dapat dicabu toleh Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi apabila ditemukan bukti baru yang dapat membatalkan alasan penghentian penyidikan dan penuntutan, atau berdasarkan putusan praperadilan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan.

Dengan kejadian KPK boleh saja berdalil/berargumentasi bahwa secara legalistik tindakan mereka dibenarkan secara hukum karena ada norma yang mengaturnya. Namun secara moral kejadian ini “menampar” wajah KPK dan sekaligus wajah pemberantasan korupsi di republik ini. Dari kejadian ini, wajar dulu saat DPR dan pemerintah ingin merevisi UU KPK yang lama mendapat resistensi dan penolakan yang massif dari publik, terutama dari kalangan kampus dan penggiat anti korupsi. Soalnya, seberapa pun kuatnya narasi dari DPR dan pemerintah waktu itu yang mengatakan revisi UU KPK dalam rangka penguatan lembaga anti rasuah itu, tidak bisa mengalahkan narasi publik yang mengatakan bahwa revisi UU KPK merupakan upaya “mengamputasi” dan melemahkan lembaga anti korupsi ini. Apa yang menjadi kecurigaan publik selama ini, terbukti ketika KPK menggunakan kewenangan dan otoritasnya yang diberikan oleh UU untuk mengeluarkan SP3 terhadap kasus mega korupsi BLBI. KPK bukan lagi superbody tapi sudah menjadi inferiorbody.

Pertanyaan publik atas keputusan ini, mengapa KPK tidak fokus dan memprioritaskan penyelesaian tunggakan kasus korupsi yang menumpuk di gedung merah putih. Daripada mengeluarkan SP3 kasus BLBI yang telah “merampok” ribuan triliun uang negara. Dengan keputusan “ujicoba” SP3 ini, maka hari-hari ke depan kita akan menyaksikan bagaimana KPK akan melakukan hal serupa untuk kasus lain. Untuk menghentikan “tabiat” buruk meng-SP3-kan kasus maka perlu tindakan “perlawanan” dari rakyat dan kelompok civil society untuk menghentikan hal ini. Dengan adanya mekanisme SP3 ini, tidak ada lagi hal yang istimewa dimiliki KPK dalam proses penegakan hukum dan pemberantasan korupsi. KPK tak ada ubahnya dengan lembaga penegak hukum lain seperti kepolisian dan kejaksaan.

Dengan mulainya KPK melakukan SP3 kasus korupsi, harapan kita KPK mampu menangani kasus-kasus besar, pelik, dan kompleks yang sering berkelindan dengan kekuatan kekuasaan dan modal menjadi sirna. KPK sebagaimana penegak hukum lain, akan lebih suka “menggarap” kasus yang mudah diungkap dan melakukan OTT, dan cenderung menghindar dari kasus yang pelik, seperti kejahatan korupsi di ranah politik dan di pusaran atau episentrum utama kekuasaan.

Saya paham, mereka yang bermahzab hukum “legalistik formalistik” punya banyak dalil dan alasan untuk membantah “pikiran nakal dan kritis” saya soal SP3 KPK ini. Argumentasinya pasti seperti ini “KPK enggak salah, soal kewenangan mengeluarkan SP3 itu memang diatur dalam UU dan bla…bla…bla”. Tapi saya sendiri melihatnya tidak hanya dalam pendekatan “legalistik formalistik” tapi juga menggunakan “legal critical” yang kritis dan keluar dari “pasungan” norma-norma dan standar-standar di dalam teori dan praktek hukum yang kaku.

Selamat menikmati libur akhir pekan, jangan lupa bahagia dan saling mengasihi.

*Penulis adalah Akademisi dan Peneliti di Pusat Kajian Agama, Politik, dan Peradaban

Terbaru

Untuk Menguatkan Bukti Jazad Di Duga Korban Persekusi Akan di Otopsi

SELUMA - Merespon laporan keluarga terduga korban Persekusi Polres Seluma, Melalui Kasat Reskrim, Iptu Dwi Wardoyo menyarankan pihak keluarga untuk melakukan Otopsi. Karena untuk mengungkapkan perkara dugaan Persekusi tersebut dibutuhkan beberapa alat bukti. Ditegaskan Kasat...

Persekusi Diakui Sebagai Salah Satu Bentuk Kejahatan Kemanusiaan Sejak Tahun 1993

SELUMA - Mungkin masih banyak belum tahu arti dari kata Persekusi dan belum mengenal secara luas apa saja yang masuk dalam tindakan Persekusi serta bagaimana Persekusi di mata hukum. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, arti...

Direktur Perbenihan Hortikultura RI, Apresiasi Semangat Bupati Seluma

SELUMA - Tak diragukan lagi kegigihan Bupati Seluma Erwin Octavian dalam mewujudkan Seluma Alap, ini dibuktikan dengan komitmen dirinya bersama Drs Gustianto dalam mewujudkan Visi Misinya saat kampanye. Bupati Seluma yang dikenal dengan tagline Seluma...

Related Articles

Manajemen Reformasi Birokrasi

BENGKULU - Di lansir dari Biro Organisasi Setda Provinsi Bali, Reformasi Birokrasi (RB) pada hakikatnya merupakan upaya untuk melakukan pembaharuan dan perubahan mendasar terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan terutama menyangkut aspek-aspek kelembagaan (organisasi), ketatalaksanaan (business...

Varian Model Penyelesaian Sengketa Pilkada Dalam Kerangka Regulatif

Oleh: Elfahmi Lubis* Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, secara tegas menyatakan bahwa Indonesia adalah negara yang berkedaulatan rakyat. Implementasi kedaulatan rakyat dalam bingkai negara demokrasi adalah terselenggaranya pemilihan umum (Pemilu) secara reguler...

Gugat Class Action Pemerintah, Lalai Atasi Banjir?

Oleh: Elfahmi Lubis* Dalam beberapa hari ini Kota Bengkulu dikepung oleh banjir. Di beberapa kawasan, banjir telah menenggelamkan pemukiman penduduk dan akses jalan mengalami kelumpuhan. Ditaksir kerugian yang dialami warga ratusan juta rupiah. Mulai dari...